var no = 8; var speed = 15; var snowflake = "https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBFT4OlrD__Q32buURVPGOhEY6QbI2Y_khGyLDMV3LgbH8oFsuh88i0d6j9Bo3qKoKDT76CpsR0VlAYI5v3BB7rqkHpPX4DFW2h525v-9uaxlrRh-RdEh8nCUYHV5xaH1p800FwF_0eeE/s200/Hawk_Animation.gif";

Jumat, 27 April 2012

CERPEN PUTRA PAK POLISI


PUTRA PAK POLISI
            Polisi itu menjengkelkan. Wajahnya seram. Bibirnya tebal. Kedua bola matanya merah, melotot seperti kucing. Buas tampaknya. Bagai seekor harimau hutan, ia menggeram, mencengkram leherku, dan tiba-tiba …puih…,segumpal ludah bergetah menyembur ke  wajahku, polisi itu meludahi wajahku. Meludahi hatiku. Meludahi seluruh kedirianku.
            Aku tergagap. Cacian tajam itu membunuh kemanusiaanku. Mampuslah aku. Mampus dalam cengkraman alat Negara, mampus dalam jemari pelindung rakyat. Aku gemetar. Polisi itu melepaskan cengkeramanya, mengacungkan pistol kearah hidungku , dan seketika suaranya melengking. Ganas gans dan mengerikan.
            “jawab! Ayo, cepat jawab ! kalau tidak, peluru ini menembus kepalamu !”, bentakanya. Aku diam. Jantungku bergetar. Nafasku tersengal. Namun kemanusiaanku mulai berontak. Tembaklah aku. Tembuslah kepalaku. Hancurkan otakku. Sampai puas, koyaklah hati nuraniku. Aku tak munkin mengaku. Karena memang bukan aku yang melakukan itu. tarik pelatuk dan bunuhlah aku. Meskipun aku terkapar di kamar ini, dalam sel ini. Aku tetap menang. Karena memang bukan aku yang melakukan itu. aku tahu siapa pelakunya. Tapi belum waktunya aku bicara. Moncong senapan kadang menutup mata dari kebenaran. Belum waktunya. Nanti di meja sidang aku bicara. Di sana, aku merdeka berbicara dengan jujur. Aku merdeka menodongkan senjataku. Senjata kebenaran. Tidak punya pelatuk, tapi lebih seru dari pistol. Karena pelatuknya ditarik oleh hatinurani . tembaklah aku. Hancurkan batok kepalaku. Teriak batinku. Suaraku tersekap di kerongkongan. Aku menyadari keadaan. Sebuah lingkaran situasi yang mengancam. Situasi dalam kamar tahanan. Situasi di hadapan laras seorang polisi. Situasi yang memaksa aku kalah.
            “baiklah jika engkau tidak ingin mengaku”, kata polisi itu. suaranya tiba-tiba lembut bagai seorang ibu kepada anaknya. Pistolnya yang sejak tadi menempel di pucuk hidungku ditariknya perlahan-lahan, kemudian berkata, baiklah . kalau bukan engkau yang melakukan itu, munkin ada orang lain yang engkau kenal. Katakanlah supaya engkau bebas. Jangan membunuh dirimu lantaran membela orang lain. Ayo, sebut saja siapa orang itu.”
            Aku tetap diam. Gereget jantungku pelan-pelan berubah. Rasanya ada sesuatu yang meliuk-liuk dalam diriku. Ada sebuah pemberontakan dalam batinku. Haruskah aku bicara yang jujur. Haruskah aku katakan sesungguhnya bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah ……ah,…..adalah kawanku sendiri. Kawan karibku yang bernama…..ah, tidak . sungguh mati aku tidak tega mengatakan bahwa si Martin, putra Pak Polisi itu, adalah pelakunya. Dialah yang menghamili gadis itu. dan lantaran terdesak untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya, ia membunuh gadis itu. sebutir peluru pistol, entah milik siapa, bersarang di jantungnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Jika lautan menjadi tinta dan pepohonan menjadi kalam untuk mencatat ilmu-nya, maka tidaklah cukup meskipun ditambah dengan tujuh kali banyaknya. (salam Anak Bulukumba)"